Dalam kamus anak Pesantren, ada beberapa anekdot kecil yang acap kali jadi validasi
pelanggaran krusial, hingga menjadi santapan besar bagi buruknya moral dan citra masyarakat
sekitar.
“Le lag kalag“ atau dalam bahasa Latin bisa dimaknai “Ambil Sepuasnya” (terjemahan versi
penulis)
Ibarat bom massal. “Ambil sepuasnya” adalah senjata yang super mematikan, mampu membunuh
dalam skala yang cukup besar, tentu saja, bisa menghasilkan banyak korban, dan boleh jadi,
mendiagnosa perkataan “senjata makan tuan”.
frasa tiga bait ini boleh dibilang sebagai paragraf multi tafsir. Setidaknya ada dua pertanyaan
penting: apa maksud dari kata sepuasnya? lalu sampai kapan iya akan selesai? Mari kita intip satu
demi satu pernyataan super horor ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sepuasnya secara sederhana: ungkapan yang
menunjukkan kebebasan untuk melakukan sesuatu yang absolut.
Jika kita kaji lebih dalam, perspektif literal (tafsiran harfiah), Kedaulatan santri masih terjaga
dengan kebenaran mutlak, berapapun jumlah yang di ambil, berapapun harga yang harus dibayar,
serta sebanyak apapun santri kembali dengan dalih “Ambil sepuasnya”
dalam kaca mata nahwu: segala yang berubah dari bentuk Mufradnya di sebut jamak. (Segala
latar yang sedia kala bermakna satu, Contoh رَجُلٌ jika ada perubahan lafad maka bisa jadi
bermakna Banyak (Jama’) menjadi رِجاَلٌ.
Tentu, jika kita bicara nahwu, sangat sulit untuk melepaskan bahasa kita yang satu. Sebagai
penulis saya begitu yakin dan menyadari betapa indahnya benang merah yang menghubungkan
bahasa yang lainnya, tak peduli seberapa jauh mereka berasal. Prinsip-prinsip yang berlaku
dalam nahwu mungkin juga bersemayam dalam bahasa Indonesia dan Madura, menciptakan
harmoni yang tak terduga. “Kalag lah” berubah menjadi “le lag kalag”, “ambil” menjadi “ambilambil saja”, atau lebih tepat lagi, “ambil sepuasnya”,
Anugerah yang datangnya dari sebuah kata, menjadi petaka bagi orang yang mengucapkannya.
Kemungkinan besar, ini dalil yang jadi validasi kebenaran mereka (santri).
Dibawa pulang untuk hidangan makan malam. Lalu kembali lagi saat perut sudah mulai lapar.
Pernyataan super horor itu akan terus berlanjut, hingga kesempatan kedua datang. Amukan
warga sudah mulai ditetapkan. Naasnya, Nasi sudah jadi bubur, Harapan pemilik pun sudah kian
terkubur.
Dapatkah kata-kata itu menjadi pembenar bagi para santri untuk mengulangi perbuatan yang
sama di bawah naungan dalih yang mereka yakini? Jawabannya memang ya. Namun, di balik itu,
kita dihadapkan pada paradoks bahasa yang dapat menjadi alat pembenar sekaligus refleksi
mendalam tentang esensi dan konsekuensi dari setiap tindakan.
Layaknya pedang bermata dua: sebuah metafora yang sering sekali digunakan untuk
menggambarkan pentingnya dampak dari sebuah perkataan.
Dibenarkan secara harfiah, tidak secara tindakan []
Ditulis Oleh Mukhlis Akmal Hanafi
- Wajah Baru, Harapan Baru. - 30 Juni 2025
- Aku, Perempuan Itu - 30 Juni 2025
- Butiran Tasbih - 30 Juni 2025