Judul : Asmaraloka
Penulis : Danarto
Penerbit : Diva Press
Tahun Terbit : April 2016 (Cetakan Pertama)
Jumlah Halaman : 360 Halaman
Mau tidak mau, pembaca (ini yang saya rasakan) langsung dibikin penasaran oleh Danarto dan
mengajukan setidaknya tiga pertanyaan penting: Siapakah mayat laki-laki yang dipikul Malaikat
Maut? Mau dibawa ke mana mayat itu? Siapa perempuan yang selalu mengikutinya?
Teka teki itu akan segera dijawab lembar demi lembar novel “Asmaraloka.” Mari kita intip satu per
satu.
Arum, perempuan yang selalu mengikuti ke mana pun Malaikait Maut pergi. Ibarat pemburu,
Malaikat Maut merupakan target buruan Arum yang harus dibawa pulang untuk hidangan makan
siang. Busro, kekasih Arum. Keduanya baru saja melepas masa lajang. Satu hari setelah
pernikahan, terpaksa Arum menerima kenyataan pahit: Busro mati. Malaikat Maut tidak hanya
mengambil nyawanya, jasadnya juga. Itu sebabnya Arum mengikuti Malaikat Maut terus. Hanya
ingin meminta sesuatu yang menjadi hak Arum: mayat Busro yang asyik berayun di pundak
Malaikat Maut.
Kejutan-kejutan memang menjadi menu wajib karya-karya Danarto. Pembaca disuguhkan
berbagai menu, memilih satu saja, lalu menyantapnya dengan lahap. Syukur-syukur menu-menu
itu pembaca lahap semua. Saya dikejutkan tokoh Saya: mayat yang meriwayatkan kematiannya
sendiri dalam cerpen “Jantung Hati,” dan tokoh Ayah dalam cerpen “Jejak Tanah,” yaitu mayat
yang kemudian kembali lagi ke rumahnya setelah sehari baru dikebumikan. Dua cerpen itu bisa
dijumpai di kumpulan cerpen “Ikan-Ikan dari Laut Merah.”
Dalam novel ini, saya dikejutkan Arum. Pernikahannya yang salah jika dibilang lama, membuahkan
hasil. Arum hamil anak Busro. Ajaibnya, kehamilan Arum tidak diketahui siapa pun, termasuk
Firdaus: pemuda yang menemani Arum sepanjang perang berlangsung. Gejala atau tanda yang
memberi isyarat ke sana tidak ada. Perutnya pun normal. Sepandai-pandainya orang
menyembunyikan buah betis, akan ketahuan juga akhirnya. Apalagi kehamilan, anaknya kembar
lagi. Tapi Danarto harus dilihat dari kacamata surealis. Ini hanya satu cara dari sekian banyak cara
untuk memahaminya. Dan Danarto memang penulis demikian.
Juga hal itu yang membedakan Danarto dengan penulis lainnya. Tokoh-tokoh dalam ceritanya
pun juga. Sesuatu yang berat, di tangan Danarto menjadi ringan. Sesuatu yang tidak kasat mata,
menjadi kasat mata (perhatikan bagian Malaikat Maut dangan Arum.) Mungkin ini yang disebut
Teeuw “Hal yang paling ganjil jadi mungkin.”
Sebagian besar tokoh-tokoh Danarto, masing-masing punya keistimewaan. Misalnya, Kiai Ababil
Muhammad: beliau keramat. Walau pun ditentang keras Kiai Muhammad Mahfud. Ajarannya “Kita
ini dengan sendirinya Tuhan,” dianggap sesat. Hampir semua bagian Kiai Ababil, menjadi favorit
saya. Kecuali di bagian ketika Kiai Ababil berpidato di depan segerobol burung Nasar pemakan
bangkai. Ajaran Kiai Ababil mengingatkan saya pada paham Al-Hallaj dan Syekh Siti Jennar yang
hingga sekarang sepertinya masih menjadi polemik di kalangan cendekiawan.
Jika Anda penulis, dan ingin memasukkan mimpi dalam karyanya, kiranya perlu berguru pada
Danarto. Dunia mimpi Danarto adalah dunia nyata (benar-benar dialami tokoh-tokohnya dalam
sebuah cerita,) kemudian terbawa (terjadi lagi) di alam mimpi. Bukan seolah nyata yang pada
akhirnya mimpi belaka (akal-akalan penulis.) Kata Abi saya mimpi itu bagian dari dunia nyata kita:
lampau, sekarang dan yang akan datang. Senada dengan Danarto, cara A.S. Laksana mengemas
mimpi dalam karyanya. Berbeda dengan Mohctar Lubis, mimpi dalam karyanya hadir serupa
cerita berbingkai.
Sepengetahuan pendek saya, Danarto tipikal penulis tidak gampang puas dengan capaiancapaian yang sudah dia raih. Hal itu sangat tampak dalam “Asmaraloka,” bagaimana Danato
bereksperimen. Setidaknya, tiga unsur gaya (pilihan kata, penataan kata dan kalimat, nuansa
makna dan suasana penuturan pengarang) yang dikemukakan Aminuddin tampil. Bahkan
“Asmaraloka,” dibuka dengan paralelisme.
Fabel atau alegori juga menjadi bumbu penyedap novel ini. Bicara fabel tentu kita masih ingat
“Animal Farm,” nya Orwell (versi Indonesianya: Binatangisme, alih bahasa: Mahbub Djunaidi.)
Atau tengoklah semisal semifabel dalam karya-karya Eka Kurniawan.
Walau pun di beberapa bagian, saya merasakan ban alur Danarto bocor. Untungnya, hal itu
segera ditembel peristiwa-peristiwa lain: Proses masuknya Firdaus ke dunia lain, yaitu dunia
impian seluruh penduduk bumi yang di dalamnya tiada lain selain kedamaian, misalnya. Satu lagi,
daripada narasi panjang Danarto, saya lebih suka dialog-dialog pendeknya. Dialog-dialog
Danarto, bagi saya tidak hanya berbobot, tapi juga Filosofis.
Terlepas dari dua hal itu, sangat disayangkan jika rak buku teman-teman yang kosong
melompong, tidak diisi oleh “Asmaraloka,” apalagi sampai tidak membacanya. Saya jamin, Anda
akan rugi seumur hidup!
Ditulis oleh Jhon
- Wajah Baru, Harapan Baru. - 30 Juni 2025
- Aku, Perempuan Itu - 30 Juni 2025
- Butiran Tasbih - 30 Juni 2025