Kicauan burung bersenandung, mengikuti alunan musik. Matahari tanpa ragu menampakkan
sinarnya. Sosoknya yang dikenal berbudi luhur, ia bernama Zakir. Dia seorang anak yatim yang
berhenti dari sekolah kuliah menengah di Fakultas Al-Ahgaff, tepatnya di negeri Yaman.
Almarhum ayahnya dikenal sebagai seseorang yang alim dan tawadhu’. Ia tinggal bersama sang
ibu. Ibunya keturunan India yang tinggal di Indonesia, karena mengikuti sang suami.
Karena matahari sudah sirna, Zakir bergegas dan meminta izin untuk pergi berjualan. Ia pun
meraih tangan sang ibu dan mencium keningnya, tidak lupa pula ia mengucapkan salam. Langkah
lebarnya seketika berhenti, tatkala ibunya berucap dengan lantang: “Hati-hati, nak, dan
berprilaku jujur serta sopan terhadap pelanggan. Jangan khawatir, Allah selalu bersama kita.
Berdo’alah terlebih dahulu.” Zakir mendengarkan ucapan ibunya dan berucap lirih, “Insya Allah,
Zakir laksanakan perintahmu.” Sembari melangkahkan kaki diiringi gerobak yang ia bawa.
Di saat azan asar terdengar tidak jauh dari panca indra, Zakir berhenti berjualan dan mencari
masjid terdekat. Ia melaksanakan salat asar berjemaah. Setelah selesai melaksanakan salat asar,
tidak lupa ia berzikir membaca Al-Qur’an dan beribadah kepada Allah Ta’ala.
Di sisi lain, sosok wanita yang bernama Fatimah juga membaca Al-Qur’an di masjid itu. Ia tertarik
dengan pria yang juga membaca Al-Qur’an di sampingnya. Seraya berucap dengan hati yang
tenang, “Masya Allah, Subhanallah, merdu sekali suara hamba-Mu, ya Rabb.” Tanpa sengaja,
Fatimah selalu melihat sang pria dinasehati oleh Pak Ustad, mengaji, berzikir, semua yang ia
lakukan hanya untuk Allah. Ia selalu istiqomah, mampu membuat sosok wanita mengaguminya.
Setelah Zakir melaksanakan kebiasaannya di masjid, ia melangkahkan kaki lebarnya dan
melanjutkan pekerjaannya. Ketika berada di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Pak Ustad.
Zakir pun mengucapkan salam ke arahnya, dan bersalaman, “Assalamu Alaikum, Pak Ustad.”
Ustad pun menjawab salamnya, “Wa Alaikum salam, Zakir. Apa kabar?” Zakir pun menjawab
dengan sangat sopan, “Alhamdulillah, keadaan saya sehat. Kalau Ustad gimana kabarnya?” Ustad
menjawab, “Alhamdulillah.” Dan Ustad pun bertanya, “Kamu bagaimana kuliahnya di negeri
Yaman?” Zakir menundukkan kepala, karena kuliahnya berhenti di Fakultas, disebabkan biaya
tidak memadai. Ustad pun merasa iba dan berucap, “Sabar, Allah pasti akan selalu menunjukkan
jalan yang terbaik untukmu, Zakir.” Sembari menepuk pundak Zakir.
Zakir pun mengucapkan terima kasih atas perhatian sang Ustad kepadanya. Dan tidak lupa pula
keduanya mengucapkan salam dan mengakhiri perbincangan mereka. Ia pun melanjutkan
jualannya, tanpa sadar sosok wanita yang mengintip dari jendela masjid, melihat kesopanan Zakir
saat menghadap Ustadnya. Membuat hati sang gadis meronta-ronta tanpa henti, dikarenakan
ketawadhu’annya dan kesopanan Zakir dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya.
Fatimah pun mengakhiri intipannya tatkala punggung sang pria menghilang dari pandangannya,
membuat ia pergi dari tempatnya. Ketika sang gadis dipanggil oleh orang tuanya, ia pun bertanya
kepada sang ibu dan ayah, “Ada apa, Ibu? Kenapa di sini ramai sekali?” Ibu pun menjawab dengan
sangat senang, “Ibu akan menjodohkanmu dengan Fajar.” Mendengar ucapan sang ibu, hatinya
sakit tak berbentuk, dan berucap dengan suara yang sedih, “Maafkan Fatimah, Ibu. Fatimah tidak
bisa menerimanya!” Ia pun pergi melangkahkan kaki yang sangat lebar memasuki kamarnya.
Setelah melakukan transaksi yang sangat seru dan panas, Zakir akhirnya pulang ke rumah, ia
sudah tidak sabar untuk bertemu dengan ibunya dan merawat ibunya yang sedang sakit keras. Di
sisi lain, Fatimah menangis, dan memohon kepada Allah agar menolongnya untuk mendapatkan
jodoh yang diridhai dan dicintai oleh Allah. Ia menenangkan hatinya dengan membaca Al-Qur’an
dan berdzikir. Adzan Isya pun berkumandang, ia telah selesai mengurus ibunya dan ia pun pergi
ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Dan gadis itu pun pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah, dan mendengarkan
khutbah. Setelah selesai berwudhu, Zakir diminta untuk menjadi imam dan memberikan khutbah
di masjid, karena gurunya (Pak Ustad) baru saja meninggal dunia. Ia pun melakukannya dengan
penuh suka cita, mengikuti perintah gurunya tersebut. Sekitar satu bulan berlalu, Zakir
menggantikan Pak Ustad untuk selamanya. Ia melakukan amanah gurunya dengan sangat baik.
Sedangkan keadaan ibunya Zakir, semakin hari semakin parah.
Saat itu, Zakir sampai di rumah, ibunya memanggil namanya dengan nada suara yang lemah
“Zakir!, Zakir! Sini nak.” Zakir pun datang untuk memenuhi panggilan sang ibu. Sembari
menjawab, dengan lembut dan pelan. Dengan lembut memegang kening ibunya, yang sangat
panas. “Ibu, demamnya semakin tinggi, kita ke rumah sakit ya?” Lalu tangan sang ibu, secara
cepat menarik tangan Zakir seolah-olah menahannya. Zakir pun berbalik arah pada ibunya “Tidak
usah nak. Ibu hanya meminta maaf, karena tidak bisa melanjutkan kuliahmu di negeri Yaman”
Dengan hembusan nafas yang terengah-engah dan wajah yang pucat. Zakir pun menjawab
dengan sopan “Ibu jangan berkata seperti itu, Zakir terima semuanya dengan ikhlas. Zakir
bersyukur punya ibu yang merawat Zakir di sini.” Sembari memeluk ibu yang berbaring di
ranjang.
Ibunya pun berkata lagi kepada Zakir. “Nak, Ibu harap kamu bisa menemukan pasangan yang
baik.” Zakir yang mendengar itu malu, dan merasa waktu begitu cepat, telah menghantamnya.
Ibunya melirik ke hadap Zakir dan berkata lagi “Nak, Ibu minta tolong jika Ibu sudah tiada.
Pergilah ke negara India, disana keluarga Ibu berkumpul. Pergi ke sana, titipkan salam Ibu pada
mereka, dan Nenekmu. Mereka menunggu kehadiranmu. Mereka berada di kota Dubai.” Sembari
memberi foto rumah dan alamat kepada Zakir.
Dan mengambil foto itu, Zakir menjawab dengan pelan, “Insya Allah Ibu, jika Zakir punya rezeki
yang banyak.” Ibu pun merasa kasihan pada anak semata wayangnya. “Jangan lupa jika susah,
berzikir dan berdoa kepada Allah. Ingat! kita masih punya Allah!” Lalu Ibu Zakir membaca
syahadat dan meninggal dunia dalam keadaan tersenyum. Zakir memeluk sang ibu dengan penuh
kasih sayang, kini ia hanya sebatang kara.
Satu tahun berlalu, uang tabungan Zakir sudah cukup untuk ongkos ke kota Dubai. Ia berpamitan
pada warga sekitar. Warga merasa sedih, karena Zakir pergi. Ketika hendak memasuki rel kereta
api, Zakir menoleh ke arah belakang. Ia teringat pada Fatimah, dan kesedihannya bertambah,
bahwa sekarang Fatimah akan menikah dengan pilihan orang tuanya. Kabarnya beredar di
kampung. Ia pun masuk ke kereta api.
Tanpa disangka Fatimah juga menyusul dari arah belakang dan masuk ke dalam kereta api. Saat
berada di dalam kereta api, ia mencari Zakir dan pergi ke arahnya. Zakir merasa itu bukan
Fatimah, setelah berada di depannya. Zakir kaget karena sekarang hari pernikahan Fatimah. Ia
pun memanggil seraya bertanya. “Fatimah, mengapa engkau di sini, bagaimana bisa tahu kalau
saya mau pergi ke Dubai?” Fatimah menjawab dengan lembut “Saya ingin ikut denganmu, wahai
Zakir.” Dengan ketakutan di dalam dirinya Zakir, ia takut Fatimah nekat untuk kabur dari rumah.
“Kenapa engkau meninggalkan kedua orang tuamu?” Dan dimana tunanganmu?” Fatimah pun
menjawab dengan ramperiuh kekesalan di dalam dirinya “Tidak jadi, kedua orang tua saya tahu,
bahwa lelaki yang akan dijodohkan dengan diriku ternyata sering mabuk, berjudi, dan bermain
wanita di waktu malam. Karena mereka merasa bersalah, karena memberi pasangan yang seperti
itu, makanya mereka biarkan saya pergi untuk mencari pendamping yang lebih baik sepertimu.”
Zakir terdiam, dan tersenyum sambil menghela nafas dalam-dalam.
Zakir pun balik bertanya “Emangnya doamu apa?” Zakir bertanya sembari tersenyum
Sembari memejamkan mata dan berucap. “Wahai Fatimah, saya sangat bersyukur kepada Allah
Ta’ala, karena telah mempertemukan pasangan yang baik dan tulus sepertimu.” Fatimah
tersenyum ke arahnya dan juga berkata kepada Zakir. “Saya juga bersyukur karena Allah telah
mengabulkan doa saya.” Ucapannya terpotong, karena ia merasa malu. Zakir pun balik bertanya
“Emangnya doamu apa?” Zakir bertanya sembari tersenyum ke arahnya. Fatimah pun menjawab
dan tidak lupa pipinya yang kemerah-merahan.
“Saya juga berdoa kepada Allah, agar dirimulah yang menjadi pendampingku di hari nanti. Dan
Alhamdulillah Allah mengabulkannya.” Dari sekian perjalanan yang mereka tempuh, dan pada
akhirnya, mereka telah sampai ke negeri India. Zakir mengajak Fatimah ke kota Dubai, dan
mencari alamat sesuai petunjuk di foto yang pernah ibunya berikan. Setelah sampai di rumah
keluarganya, Zakir disambut baik oleh nenek dan kerabat-kerabat lainnya.
Fatimah terkejut karena rumahnya sangat besar dan indah. Ternyata nenek Zakir lah yang
mempunyai hotel bintang tujuh di kota Dubai. Di saat sang nenek mentransfer uang pada
keluarga Zakir, ibu Zakir ingin hidup mandiri. Dan sebagai gantinya, Zakir diberikan warisan oleh
sang nenek. Zakir harus meneruskan pekerjaan sang nenek, karena nenek sudah pensiun.
Nenek berucap ke arah Zakir “Zakir, kamu dan istrimu harus tinggal di sini di negeri ini lagi.”
Setelah ibumu meninggalkan nenek sendiri? Hanya saja, ibu Zakir dulu tidak mau share tabungan
bersama nenek biar nenek tidak kesepian. Refleks, keduanya saling memandang satu sama lain
diiringi senyuman. Dengan suara lembut Zakir membenarkan ucapan sang nenek. “Nenek, kami
masih belum nikah. Oh iya, hampir lupa, almarhumah ibu juga menitipkan salam pada nenek dan
meminta maaf.”
Nenek menjawab dengan aliran air mata di pipinya “Nenek maafkan ibumu, walau telah
meninggalkan nenek. Dulu nenek mau pergi ke Indonesia, tetapi nenek tidak tahu alamat
rumahmu. Kata ibumu, biar nanti anak-anaknya yang akan menjenguk mereka. Yah, walau begitu,
Nenek tetap sedih, karena tidak bertemu dengan cucu Nenek satu-satunya yang tampan. Sambil
duduk di atas kursi, semua orang di sana juga sedih dengan tatapan sayang kepada sang Nenek.
Zakir berkata “Nenek, Zakir tidak akan meninggalkan Nenek.” Dan sekarang Zakir mau meminta
restu untuk menikah dengan Fatimah dan tinggal di sini bersama Nenek.
Nenek tersenyum seraya memegang wajah Zakir “Kamu ajak Fatimah menikah di gedung Nenek
aja.” Zakir pun menjawab dengan lembut kepada sang Nenek “Tidak usah repot-repot Nenek,
kami akan pergi ke Taj Mahal saja.” Nenek tersenyum “Baiklah, pergi dengan hati yang tenang.”
Nenek merestui mereka.
Zakir dan Fatimah meraih tangan Nenek dan menciumnya. Tiba-tiba di gedung yang tinggi, yakni
di Taj Mahal, Zakir menikahi Fatimah. Fatimah merasa senang pada Zakir dan akhirnya bahagia.
Tetapi Fatimah meminta maaf pada Zakir dengan lembut “Maafkanlah diriku, wahai suamiku.”
Zakir melihat ke arah Fatimah dan bertanya “Mengapa engkau meminta maaf, wahai istriku?”
Fatimah menjawab diiringi suara hati “Karena sebelum menikah denganmu, saya pernah
mencintai seseorang.” Mendengar ucapan Fatimah, Zakir berkata dengan suara yang lembut
“Benarkah? Lalu mengapa engkau mau menikah denganku, wahai Fatimah?”
Fatimah tersenyum jahil dan tertawa berbahak-bahak karena melihat ekspresi wajah suaminya.
Fatimah melanjutkan ucapannya “Karena sosok lelaki yang kucintai adalah dirimu, Zakir.” Karena
tingkah laku lucunya, ia menghampiri sang suami dan memeluknya sangat erat.
Zakir pun memberikan hadiah tasbih yang pernah jatuh di halaman masjid. Zakir menjahitnya
menjadi satu. Tanpa disadari, ternyata tasbih Fatimah juga dijahit menjadi satu dengan tasbih
Zakir. Fatimah baru teringat, ternyata tasbihnya juga jatuh saat bertabrakan dengan Zakir, tapi ia
tidak sadar.
Dan Zakir juga heran, saat menjahit, tasbihnya yang ia hitung seperti bertambah lebih banyak,
tetapi ia menyangka hanya salah di dalam menghitung. Fatimah berucap di depan Zakir “Tasbih
yang engkau jahit itu, juga ada? Tasbihku yang engkau gabung menjadi satu. Pantas saja di
rumah tidak ada.” Zakir tersenyum dan berkata “Sungguh indah, Allah. Tasbih yang pernah
menjadi butir, kini telah menjadi satu yang utuh dan kuat.” Kini hidup mereka hanya mempunyai
satu tujuan, yaitu mendapatkan ridho Allah Ta’ala di dunia dan akhirat.
Ditulis Oleh Ummu Syifa.
- Wajah Baru, Harapan Baru. - 30 Juni 2025
- Aku, Perempuan Itu - 30 Juni 2025
- Butiran Tasbih - 30 Juni 2025