Home / Opini

Minggu, 6 Juli 2025 - 10:39 WIB

Puasa Asyura: Simbol Sikap Moderat Nabi yang Adaptif terhadap Budaya Lokal

Khat Yaumu Asyura. Sumber gambar: almasryalyoum.com

Khat Yaumu Asyura. Sumber gambar: almasryalyoum.com

Bagikan postingan

RUAL-KHALILIYAH.NET | Puasa Asyura bisa dijadikan dalil penguat tentang salah satu indikator Moderasi Beragama yang selalu digaungkan Kementerian Agama, yakni Adaptif terhadap Budaya Lokal.

Ada dua hadis yang menjadi dasar argumentasi sekaligus historis, bagaimana puasa hari kesepuluh bulan Muharram ini disunnahkan (bahkan wajib sebelum turunnya wahyu kewajiban Puasa Ramadhan).

Kedua hadis ini sama-sama diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Bedanya, satu hadis bersumber dari Ibnu Abbas, dan ini adalah riwayat yang masyhur. Hadis kedua bersumber dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu Anha yang selain diriwayatkan Imam Bukhari juga diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya.

Hadis Ibnu Abbas

قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ. فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجِّي اللهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ. فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ . وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Dari Ibnu Abbas radliallahu anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tiba di Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi malaksanakan puasa hari Asyura (10 Muharam) dan mereka berkata; “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa ‘alaihissalam mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Nabi bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummat Beliau untuk mempuasainya (HR. Bukhari).

Dari riwayat pertama ini, kita menjadi paham bahwa kebiasaan atau tradisi suatu komunitas walaupun dari mereka yang berbeda agama, tidak serta-merta kita tolak, apalagi dengan tuduhan bid’ah, bahkan kufur. Ketika suatu budaya lokal itu baik dari segi substansi dan tujuan, maka tidak ada larangan dalam agama ini untuk kita mengapresiasinya.

Ketika Nabi melihat orang Yahudi Madinah melakukan puasa (ini kebaikan) dan mengetahui alasan mereka juga baik (karena mengenang Nabi Musa). Maka Nabi pun menilai Puasa Asyura ini baik, dan sudah sepatutnya beliau beserta sahabat untuk melakukannya, karena ikatan batin Nabi Muhammad dengan Nabi Musa lebih dekat (sebagai sesama utusan Tuhan) daripada mereka kaum Yahudi.

Baca juga:  Wajah Baru, Harapan Baru.

Hadis Siti Aisyah

عن عائشة رضي الله عنها أن قريشا كانت تصوم يوم عاشوراء في الجاهلية. ثم أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصيامه حتى فرض رمضان. وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم . من شاء فليصمه، ومن شاء أفطر

Dari Aisyah RA, sesungguhnya orang-orang Quraisy dulu pada masa jahiliyah berpuasa pada hari Asyura. Rasulullah Saw pun memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu hingga turunnya perintah wajib puasa Ramadhan. Rasulullah (setelah wajibnya puasa Ramadhan) berkata barang siapa menghendaki, maka ia boleh berpuasa Asyura sedangkan yang tidak mau puasa, maka tidak mengapa (HR. Bukhari dan Muslim)

Ada sebagian golongan yang menjadikan hadits riwayat Aisyah ini untuk menolak bahwa Nabi bersikap adaptif terhadap budaya Yahudi (Puasa Asyura). Mereka seolah mengatakan bahwa Nabi sama sekali tidak terinspirasi oleh puasanya komunitas Yahudi Madinah dalam melakukan Puasa Asyura. Karena dalam pandangan mereka, faktanya Nabi sudah melakukan Puasa Asyura ketika bermukim di Mekkah sebelum hijrah ke Yastrib.

Namun mereka lupa, bahwa sudah sangat jelas dalam riwayat Aisyah ini pun, Nabi berpuasa Hari Asyura karena melihat orang Quraisy di Mekkah berpuasa pada hari tersebut. Justru keadaan orang-orang Quraisy Jahiliah yang menyembah patung waktu itu lebih parah daripada Yahudi yang masih termasuk Ahli Kitab. Karena agama Jahiliah Quraisy adalah agama Ardhi ciptaan mereka sendiri, sementara Yahudi masih agama samawi yang pada awalnya juga berasal dari wahyu walaupun pada beberapa ajaran tertentu sudah terjadi tahrif (distorsi).

Jadi, Nabi berpuasa Hari Asyura ketika di Mekkah atau pun di Madinah, secara dzahir sama saja: karena adaptif terhadap budaya lokal. Saya ulangi, secara dzahir, ya atau berdasarkan kenyataan interaksi sebab-akibat yang terjadi. Walaupun secara haqiqi, pasti semua ini karena sudah berdasarkan perintah atau restu dari Allah sebagai Pencipta Syariat dan Hukum.

Baca juga:  Ambil Sepuasnya?

Bedanya adalah kalau puasa Nabi ketika di Madinah karena melihat orang yang Yahudi berpuasa untuk mengenang Nabi Musa, sementara puasa Nabi di Mekkah ketika melihat orang Quraisy berpuasa untuk mengenang atau mengamalkan syariat Nabi Ibrahim yang masih murni. Kemudian Nabi pun berpuasa berpuasa pada Hari Asyura, karena memang beliau lebih punya ikatan baik secara biologis maupun teologis dengan Nabi Ibrahim daripada orang-orang Quraisy pada umumnya.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani ketika men-syarahi hadis riwayat Aisyah tentang Puasa Asyura ini.

Artinya, baik puasa Nabi ketika di Mekkah maupun di Madinah secara dzahir karena adanya interaksi dengan budaya lokal. Walaupun perlu saya, tegaskan, tidak boleh juga kita mengatakan Nabi ikut-ikutan. Karena memang sikap adaptif terhadap budaya lokal itu berbeda dengan ikut-ikutan.

Jika Nabi sebagai pembawa risalah begitu adaptif terhadap budaya lokal, lalu dari siapa kita mengambil agama jika sikap radikal dan suka memvonis kelompok lain dengan tuduhan sebagai pelaku bid’ah dan kafir masih bersemayam di hati dan vulgar di lisan?

Faisol Abdurrahman, S.Kom.I
Penyuluh Agama Seksi Haji dan Bimas Islam Kankemenag Melawi

Share :

Baca Juga

Opini

Ambil Sepuasnya?
Bubur Syuro

Opini

Sejarah Bubur Syuro: Jejak Syukur Nabi Nuh di Hari Asyura

Agenda

Wajah Baru, Harapan Baru.