Home / Opini

Minggu, 6 Juli 2025 - 11:03 WIB

Sejarah Bubur Syuro: Jejak Syukur Nabi Nuh di Hari Asyura

Bagikan postingan

Ditulis Ustadz Yusuf Milai*
RUAL-KHALIKIYAH.NET | Hari Asyura, yakni tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriyah, bukanlah hari biasa dalam lintasan sejarah umat manusia. Hari ini memiliki makna spiritual yang mendalam dan menyimpan peristiwa bersejarah yang penuh hikmah. Salah satu kisah agung yang terkait dengan hari Asyura adalah peristiwa selamatnya Nabi Nuh `alayhis salaam dan para pengikutnya dari bencana banjir besar yang menenggelamkan bumi.

Setelah kapal Nabi Nuh mendarat dengan selamat pada hari Asyura, mereka menghadapi kenyataan bahwa seluruh perbekalan telah habis. Rasa lapar pun mendera mereka semua. Namun, di tengah keterbatasan itulah muncul ajaran luhur tentang kebersamaan, syukur, dan keberkahan.

Dalam kitab I’anatut Thalibin (2/268) disebutkan:

(قوله: وأخرج نوحا من السفينة)
وذلك أن نوحا – عليه السلام – لما نزل من السفينة هو ومن معه: شكوا الجوع، وقد فرغت أزوادهم فأمرهم أن يأتوا بفضل أزوادهم، فجاء هذا بكف حنطة، وهذا بكف عدس، وهذا بكف فول، وهذا بكف حمص إلى أن بلغت سبع حبوب – وكان يوم عاشوراء –

“Allah mengeluarkan (mendaratkan) Nabi Nuh dari kapal perahu. Kejadian itu bahwasanya Nabi Nuh ketika turun dari kapal perahu, beliau dan orang-orang yang bersama beliau merasakan lapar, dan (keadaan) perbekalan mereka telah habis. Maka Nabi Nuh memerintahkan mereka untuk membawa sisa-sisa perbekalan mereka. Maka datanglah seseorang dengan segenggam biji gandum, yang lain membawa segenggam biji adas, yang lain lagi membawa segenggam kacang tanah, segenggam buncis, dan seterusnya hingga terkumpul tujuh macam biji-bijian. Kejadian itu terjadi pada hari Asyura.”

Dengan tujuh macam biji-bijian tersebut, Nabi Nuh kemudian memasaknya menjadi satu hidangan. Inilah yang menjadi cikal bakal dari Bubur Syuro yang dikenal di beberapa budaya Muslim, khususnya di Indonesia.

Baca juga:  Pengajian Umum dan selawat Bersama Meriahkan Haflatul Imtihan Ke 67 Yayasan Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah

فمسى نوح عليها، وطبخها لهم، فأكلوا جميعا وشبعوا، ببركات نوح عليه السلام، فذلك قوله تعالى:
(قيل يا نوح اهبط بسلام منا وبركات عليك وعلى أمم ممن معك) وكان ذلك أول طعام طبخ على وجه الأرض بعد الطوفان – فاتخذه الناس سنة يوم عاشوراء، وفيه أجر عظيم لمن يفعل ذلك، ويطعم الفقراء والمساكين. اه من الروض الفائق.

“Maka Nabi Nuh mengambil biji-bijian itu dan memasaknya. Mereka semua memakan masakan Nabi Nuh dan merasa kenyang karena keberkahan Nabi Nuh. Dan kejadian itu sebagaimana Firman Allah:

قِيلَ يَا نُوحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِّنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَىٰ أُمَمٍ مِّمَّن مَّعَكَ

“(Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan atas umat-umat dari orang-orang yang bersamamu).”

“Itulah makanan pertama yang dimasak di muka bumi setelah banjir besar (bubur syuro). Maka peristiwa itu pun dijadikan sebagai tradisi pada hari Asyura, dan terdapat pahala besar bagi siapa pun yang menghidangkannya serta memberi makan kepada orang-orang miskin dan fakir.”

Makna Bubur Syuro di Zaman Sekarang

Tradisi membuat Bubur Suro yang masih dilakukan hingga kini di berbagai daerah Indonesia ternyata memiliki akar historis yang kuat dari syariat dan kisah kenabian. Tidak hanya sebagai makanan, bubur ini adalah simbol dari:

  1. syukur kepada Allah atas keselamatan dan keberkahan hidup.
  2. kepedulian sosial, dengan menghidangkannya kepada keluarga, tetangga, dan kaum dhuafa.
  3. pengingat sejarah umat, bahwa dari keterbatasan bisa lahir keberkahan bila diiringi keimanan dan kebersamaan.
Baca juga:  Puasa Asyura: Simbol Sikap Moderat Nabi yang Adaptif terhadap Budaya Lokal

Semoga dengan memahami asal-usul dan makna spiritual di balik Bubur Syuro, kita dapat menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya: syukur, berbagi, dan berdoa agar selalu dalam naungan rahmat Allah.

Penulis: Ustadz pengajar aktif di Yayasan Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah.

Share :

Baca Juga

Agenda

Wajah Baru, Harapan Baru.

Opini

Ambil Sepuasnya?
Puasa Asyura

Opini

Puasa Asyura: Simbol Sikap Moderat Nabi yang Adaptif terhadap Budaya Lokal